Sabtu, 19 Maret 2011

mempertanyakan agama

Pemikiran manusia tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh ilmu pengetahuan terhadap entitas dirinya sendiri. Seorang manusia terus dituntut untuk memahami hakekat (ontologi) kehidupannya. Ian Marshall dalam bukunya “Spiritual Capital” mencoba menarik kesimpulan atas epistemologi (cara pandang) ini. Marshall mengatakan bahwa setiap individu selalu memulai dengan proses aktualisasi diri atau pemaknaan, harga diri atau ego, dan selanjutnya melibatkan diri secara sosial. Hal yang demikian diungkapkan Marshall merupakan garis pandang dari konsep sistem adaptif kompleks manusia. Dalam hal ini, Marshall mencoba untuk meruntuhkan persepsi pemikiran humanistik model Abraham Maslow. Teori piramida kebutuhkan manusia oleh Maslow jelas menyatakan hal yang sebaliknya. Bahwa proses kehidupan manusia selalu berawal dari proses-proses pemenuhan fisiologis. Maslow kemudian cenderung mengesampingkan aspek spritual, dimana Marshall jelas terlihat lebih fokus pada aspek yang demikian.
Penulis selanjutnya akan memaparkan pandangan terkait keberadaan manusia dan agama berdasarkan pemikiran Marshall maupun Maslow. Menurut penulis, kedua teori yang diungkapkan sebelumnya mengenai proses kehidupan terbatas pada perilaku manusia. Manusia kemudian dituntut untuk bersikap dalam mempertahankan kehidupan. Penulis juga melihat hal yang demikian sebagai faktor utama manusia menentukan atau membentuk karakter kepercayaan. Dalam hal ini, manusia telah menyadari kebutuhan spiritualnya. Secara langsung  manusia akan selalu membutuhkan kepuasan rohani disamping proses keberlangsungan fisiologisnya. Selanjutnya mendorong manusia untuk merumuskan pemikiran menemukan aggapan kebenaran.  Manusia kemudian dinilai memiliki kecerdasan spiritual (SQ) yang mempengaruhi perilakunya dalam bertindak sesuai nilai-nilai moralitas. Nilai ini menjadi dasar dari rasio sistem kepercayaan. Dan akhirnya tergeneralisir pada sebuah agama.
Agama sebagai sistem kepercayaan lahir sebagai jawaban atas hakekat diri manusia. Merupakan kebutuhan manusia yang utama untuk mampu memaknai kehidupan. Menjaga sifat “humanistik” model Maslow untuk mencukupi kebutuhan fisiologis, agama berperan besar pada praktiknya. Menurut Marshall, kecerdasan spiritual seseorang (yang merupakan stigmatisasi agama) bahkan menjadi faktor penentu keberhasilan suatu pekerjaan. Pekerjaan pada konteks ini tentu adalah proses pemenuhan kebutuhan fisiologis. Aspek yang saling mempengaruhi ini secara jelas berdiri pada hakekat agama itu sendiri. Adapun motivasi manusia untuk hidup menjadi alasan yang paling penting bagi keberlangsungan sistem kepercayaan tersebut. Tanpa suatu sistem yang jelas atau agama, manusia tidak dimungkinkan dapat menjaga stabilitas pemikirannya.
Mempelajari agama melalui pemikiran tentang fenomena sistem kepercayaan adalah perbandingan yang sangat menarik bagi penulis. Hal tersebut dapat membawa sudut pandang baru untuk memahami esensi dari kebutuhan spiritual manusia. Kompleksitas aspek kebutuhan ini kemudian juga menjadi faktor yang sangat diperhitungkan. Terutama ketika penulis dituntut untuk melihat keberadaan sistem kepercayaan dan manusia sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Demikian pemaparan penulis dalam menarik kesimpulan terkait keberadaan agama dan manusia. Melalui perpektif sosial dirasakan pembahasan mengenai hakekat dan epistemologi keberadaan agama sebagai suatu fenomena dapat terjawab secara lebih luas.

Jumat, 31 Desember 2010

tentang pornografi

Sebelum maupun sesudah terbitnya undang-undang no. 44 tahun 2008 tentang pornografi tengah menimbulkan perdebatan panjang di masyarakat. Pro dan kontra terhadap kebijakan tersebut menuai banyak persepsi publik atas kekuatan hukum dalam upaya menciptakan tatanan sosial yang lebih baik. Adapun kaum cendikiawan, budayawan, seniman, agamis, politisi, dan akademisi turut serta meramaikan pasang surutnya dukungan terhadap undang-undang tersebut. Mereka yang berdiri di kubu “pro” tentu membela dan mendorong semangat anti pornografi sebagai bentuk pembenahan tatanan sosial lewat kekuatan hukum atas perilaku moral masyarakat. Dan mereka yang berdiri di kubu “kontra” terus menerus mempertanyakan sikap hukum yang dirasakan memberengus kebebasan berekspresi. Keduanya memiliki argumentasi yang cukup kuat, berbagai aksi pun seringkali kita dengar di media massa dengan tokoh-tokoh masyarakat sebagai pionir sejatinya.

Penulis kemudian melihat proses pelaksanaan hukum mengenai pornografi ini menjadi perhitungan pada batasan-batasan di dalam masyarakat. Dalam hal ini, penulis tidak melihat adanya kesepakatan yang cukup jelas mengenai definisi pornografi itu sendiri pada realitanya. Di satu sisi, pornografi dinilai merusak moralitas masyarakat dan kerap menimbulkan keresahan publik. Di sisi lain pornografi justru dilihat sebagai bentuk eksploitasi seksualitas yang tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan manusia. Pelaksanaan proses hukum selanjutnya menjadi penentu atas kesepakatan bernegara. Dalam mencapai fungsi pengendalian sosial maka hukum dituntut untuk dapat merepresentasikan kepentingan banyak orang. Pokok persoalan kemudian terletak pada sudut pandang hukum terhadap masyarakat (subjek hukum) atas aspek pornografi itu sendiri.  Mencermati penerapan undang-undang tersebut menjadi hal yang rasional untuk terus kita ukur. Sebagai bentuk respon masyarakat (feedback) yang juga menjadi rasio terhadap relevansi keberhasilan proses hukum di Indonesia

sexual photograph
Dalam pembahasan ini, penulis akan membatasi fokus pada substansi undang-undang no. 44 tahun 2008 tentang pornografi, terlepas dari studi yang lebih mendalam mengenai dampak dari pemberlakuan undang-undang tersebut. Seperti yang telah kita ketahui bersama, kerancuan berada pada makna pornografi itu sendiri. Mengutip pasal 1 butir pertama mengenai ketentuan umum,

“...Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat...”

memperlihatkan kita pada keambiguan terhadap maksud dari pornografi. Pornografi pada konteks tersebut dinilai sebagai eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan. Padahal, pornografi yang dikonsumsi oleh seorang individu untuk kebutuhan pribadinya sendiri tanpa merugikan pihak lain adalah bentuk hak asasi manusia yang juga dilindungi oleh konstitusi. Pornografi (porno-grafis) berarti grafis atau gambaran mengenai hal-hal seksual. Sangat jauh dari esensi norma kesusilaan yang dimaksud.

Ketidak-sepakatan publik terhadap persepsi mengenai pornografi selanjutnya menciptakan kontroversi atas opini-opini lainnya. Meskipun demikian, menjaga norma-norma di dalam masyarakat –terutama norma kesusilaan dalam hal ini- menjadi tanggung jawab bersama dan merupakan salah satu fungsi kongkret sebuah pelaksanaan hukum. Apabila hal yang demikian tidak diatur secara sah melalui perundang-undangan, maka bentuk-bentuk destruksi sosial melalui ranah pornografi pun akan terus terjadi. Hukum mengenai konteks pornografi penulis rasakan perlu untuk diperhatikan. Namun, kepastian hukum selanjutnya juga menuntut suatu “kepastian paradigma” di dalam setiap pengaturannya. Selama persepsi pornografi pada undang-undang ini menimbulkan multi-tafsir, maka penerapannya pun akan cukup terganggu dan tidak relevan. Mengingat juga bahwa hukum haruslah tidak samar-samar atau “nullum crime sine lege stricta” demi menjamin mutu dari pengendalian sosial itu sendiri. Selain itu, frasa “...melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat...” dirasakan terlalu luas untuk mengukur sebuah batasan. Hal ini penulis tekankan pada perbedaan norma kesusilaan di dalam berbagai budaya masyarakat menjadi cukup signifikan untuk dipersoalkan.

Kerancuan yang banyak terdapat pada undang-undang ini juga dapat kita temui pada tujuan undang-undang. Mengutip pasal 3 (b) mengenai tujuan,

“...menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk...”

cenderung menimbulkan pertanyaan publik atas relevansi pornografi dalam nilai-nilai seni, budaya, dan adat. Hal demikian diperkuat dengan banyaknya jumlah kalangan seniman dan budayawan yang ikut menentang peraturan tersebut. Untuk itu, peraturan yang mengatur pornografi dirasakan juga harus mampu untuk melindungi dan melestarikan seni budaya di kehidupan masyarakat. Atau yang justru terjadi adalah pembunuhan kreatifitas dan kebebasan berekspresi masyarakat seperti yang selama ini dikhawatirkan oleh banyak kalangan mengenai penerapan undang-undang ini.

Selain mengatur aspek pornografi di dalam masyarakat sebagai bentuk pengendalian sosial, undang-undang ini juga berperan sebagai perlindungan terhadap anak. Kembali penulis mengutip pasal 15 mengenai perlindungan anak,

“...Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi...”

yang juga dirasakan kurang tepat apabila orientasi perlindungan tersebut adalah pencegahan dari pengaruh pornografi. Manusia yang tidak (mampu) dipengaruhi pornografi atau “aseksual” justru menjadi persoalan yang lebih krusial. Begitupun terhadap frasa informasi pornografi, dimana proses sosialisasi terhadap anaklah yang seharusnya ditekankan oleh pasal ini. Bentuk-bentuk pengaruh dan informasi pornografi menjadi ambigu apabila tidak dijelaskan lebih lanjut. Terutama ketika konteksnya adalah pendidikan seks yang sudah seharusnya dilakukan pada proses sosisalisasi anak oleh orang tua. Apabila informasi mengenai seks dalam pornografi tidak dipahami oleh seseorang, maka kemudian akan timbul kecenderungan fenomena paradoksal pada seseorang. Dimana rasa penasaran kemudian menjadi lebih dominan untuk menyimpang dari norma-norma sosial yang berlaku. Di satu sisi, kita tetap memerlukan pengaturan yang mendasar bagi akses informasi pornografi dalam proses sosialisasi anak.

Selanjutnya, undang-undang ini juga mendorong reaksi masyarakat. Bahkan mendorong peranan masyarakat dalam proses-proses pencegahan (preventif), penyelesaian (kooratif), dan pembinaan (rehabilitatif) sebagaimana yang terkutip pada pasal 20 berikut,

“...Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi...”

sehingga peran-peran masyarakat dapat juga mewujudkan kecenderungan “polisi moral” di tengah kehidupan masyarakat sipil. Apabila fenomena ini terjadi, maka stabilitas akan terganggu dan mampu mendorong kecenderungan diskriminan terhadap mereka yang mempunyai persepsi berbeda mengenai pornografi itu sendiri. Meskipun perbedaan persepsi ini tidak lagi menjadi acuan yang kuat untuk kita pertahankan selepas terbitnya undang-undang tersebut. Walaupun demikian, sebuah penetapan hukum harus didukung oleh peranan masyarakat setempat. Sehingga terjadi hubungan yang konstruktif antara negara dan masyarakat dalam mencapai kontrak politik berupa hukum. Tanpa adanya peran masyarakat, hukum tidak mungkin mampu menyentuh tujuan fungsionalnya. Hal ini perlu dicermati dalam membina struktur dalam komponen-komponen subjek hukum yang baik. Dengan kata lain, fenomena “polisi moral” masyarakatlah yang seharusnya menjadi objek dalam batasan-batasan penerapan pasal pada undang-undang tersebut.

Peranan hukum menjadi sangat relevan ketika konteks substansi di dalamnya terhitung cermat dan tepat pada sasaran tujuan pemberlakuan. Relevansi yang demikian juga menjadi kebutuhan masyarakat sebagai subjek hukum. Selanjutnya adalah upaya-upaya yang terus dilakukan untuk membenahi prinsip-prinsip hukum itu sendiri, sebagai bentuk respon (feedback) langsung dari masyarakat. Dan dalam hal ini, negara bertanggung jawab menjamin keberlangsungan proses konstruksi hukum yang sistematis. Ketika sistem hukum dapat berjalan dengan baik di dalam masyarakat hukum, maka pembenahan dan sasaran tujuan sebuah undang-undang dapat berhasil tercapai. Pencapain inilah yang selanjutnya menjadi upaya yang juga relevan dalam proses pengendalian sosial melalui hukum. Adapun perdebatan yang terjadi seputar undang-undang adalah indikator stimulasi sebuah proses pemberlakuan hukum untuk menciptakan tatanan sosial yang lebih baik. Secara fungsional, undang-undang pornografi kemudian diharapkan dapat benar-benar mengatur apa yang menjadi batasan aspek tersebut sehingga tujuan tatanan itu sendiri dapat terealisasikan.

Penegakan dan pembangunan hukum dalam perspektif yang sistematis selanjutnya kita sadari harus terjaga oleh konstruksi hukum yang juga kokoh. Dalam hal ini, respon masyarakatlah yang mampu menjadi evaluasi terhadap pembentukan hukum serta penerapannya. Dukungan yang semacam ini baru kemudian dapat tercipta apabila substansi sebuah undang-undang dapat diterima secara jelas di mata umum. Hukum menurut Ludwig von Bertalanffy secara nyata terbentuk oleh kompleksitas elemen yang saling terikat dan bergantung. Dan pada akhirnya secara kumulatif menjadi satu kesatuan yang dibutuhkan untuk membentuk masyarakat. Fungsionalitas hukum selanjutnya menjadi upaya manusia dan negara dalam mencapai tatanan sosial yang seimbang dan stabil. Mengukur keberhasilan sebuah undang-undang memang tidak serta merta dapat begitu sederhana. Banyak faktor yang tidak penulis paparkan sebagai bentuk pembatasan dalam hal ini. Namun penulis tetap mengedepankan relevansi penerapan hukum dengan fungsi hukum itu sendiri sebagai acuan yang luas dan mendasar terhadap permasalahan ini.


refrensi penulisan :
http://www.aruspelangi.or.id/statement/report_on_ruuapp.pdf
http://www.komnasperempuan.or.id/2010/03/undang-undang-nomor-44-tahun-2008-tentang-pornografi-sebuah-kemunduran-bagian-pertama/
http://books.google.co.id/books?id=XP-J_3xUzGIC&pg=PA3&dq=undang-undang+pornografi&hl=id&ei=5AIBTbvwB4_irAen-4WRDw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=1&ved=0CCMQ6AEwAA#v=onepage&q=undang-undang%20pornografi&f=false
http://books.google.co.id/books?id=j8cqPTvfR9AC&pg=PP20&dq=undang-undang+pornografi&hl=id&ei=5AIBTbvwB4_irAen-4WRDw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=2&ved=0CCcQ6AEwAQ#v=onepage&q=undang-undang%20pornografi&f=false
http://id.wikiquote.org/wiki/Rancangan_Undang-Undang_Antipornografi_dan_Pornoaksi

Sabtu, 25 Desember 2010

mempertanyakan pluralitas

Dalam tulisan ini, saya ingin memaparkan beberapa analisa saya terhadap hubungan Indonesia dan Israel berdasarkan isu-isu yang selama ini larut dalam perdebatan. Hal ini sudah sepatutnya menjadi sebuah pertimbangan atas sikap politis luar negeri Indonesia yang  juga berdampak pada persepsi dan pandangan dunia. Disamping itu, Indonesia sendiri mempunyai cita-cita yang secara jelas tertulis pada pembukaan UUD 1945 untuk turut serta membangun perdamaian dunia. Mewujudkan sebuah hubungan yang harmonis menjadi tuntutan tersendiri bagi republik ini. Permasalahan yang kontroversi mengenai hubungan Indonesia-Israel terletak pada isu-isu yang berakar dari faktor fanatisme sosial, budaya, dan agama yang berbeda. Alasan tersebut mendorong berbagai penolakan maupun dukungan terhadap upaya-upaya dalam menjalin hubungan kedua negara. Lantas, bagaimana seharusnya kita menanggapi masalah ini?


Membahas hubungan Indonesia-Israel tidak lepas dari kenyataan mengenai konflik Israel-Palestina yang menjadi sorotan dunia. Berbagai isu agama dan politik menjadi penyebab pecahnya perang yang terjadi. Ketika permasalahan tersebut melibatkan isu-isu agama, Indonesia sebagai negara dengan mayoritas islam tentu mempunyai reaksi yang juga tajam dari sebagian besar masyarakat. Hal ini juga menimbulkan penolakan-penolakan keras atas terlaksananya gagasan pembinaan hubungan Indonesia-Israel. Di satu sisi, Indonesia sebagai negara non-blok pun tidak kalah penting dalam mempertimbangkan garis politiknya. Dalam pernyataan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, seperti yang saya kutip dari harian kompas (Rabu, 22 Juni 2010)[1] lalu, ia menegaskan posisi Indonesia yang menentang keras tindakan Israel terhadap beberapa insiden penyerangan yang terjadi di perbatasan Israel-Palestina. Presiden menilai tindakan Israel merupakan hal yang memalukan dan pantas untuk dikutuk. Hal ini tentu tidak tanpa alasan, presiden juga memaparkan bahwasanya Israel dapat dikatakan menghambat berlangsungnya peace-keeping mission yang dicanangkan United Nation (PBB).

United Nation assembly hall

Sebaliknya, mengutip pernyataan Muhaimin Iskandar dalam bukunya yang berjudul “Gus Dur Yang Saya Kenal : catatan transisi demokrasi kita [2]  justru mengangkat sisi keuntungan yang seharusnya dicermati dalam membina hubungan diplomatis antara Indonesia-Israel. Mantan presiden RI ke-4 ini mengingatkan kita atas esensi demokrasi, yang pada konsekuensinya kita sudah sepatutnya mengakui kedaulatan negara Israel terlepas segala latar belakang yang ada. Dimana kesetaraan dalam berbagai bangsa dan negara harus terus dijaga sebagai bentuk implementasi dari asas “pluralitas”. Perlu kita sadari bahwa hubungan Indonesia-Israel bahkan mampu menjadi kesempatan untuk memediasi konflik-konflik yang terjadi secara lebih akurat. Dimana terbukanya hubungan diplomasi Indonesia-Israel menjadi ruang komunikasi yang memungkinkan terjadinya lobi-lobi politik didalamnya. Dalam hal ini, kita dituntut untuk dapat menilai segala persoalan dengan sudut pandang yang netral (ketidakberpihakan) dengan cara membina hubungan yang efektif dan efisien, hubungan yang jelas dan akurat, hubungan yang mengedepankan solusi bagi perundingan-perundingan Indonesia-Israel.

Pada akhirnya kita dipertemukan dengan kesimpulan yang cukup sederhana. Kita sebagai negara yang turut serta dalam menjaga perdamaian dunia harus menentukan sikap politisnya. Ketidakberpihakan Indonesia dalam hal ini mencerminkan makna “Kebhinnekaan” bangsa sebagai identitas dan acuan berpolitik. Selain itu, sifat ini pun mampu menularkan “pluralisme” sehingga kemudian menjadi pertimbangan dunia pada berbagai persoalan. Melihat gagasan untuk membina hubungan Indonesia-Israel sebaiknya dapat terus diwujudkan dengan baik melalui penetapan-penetapan kedutaan Indonesia di Israel maupun kedutaan Israel di Indonesia. Mengesampingkan isu-isu agama yang terkandung di dalamnya, menjadi refleksi kritis kita terhadap political view politik luar negeri Indonesia.



[1]  “Inilah Langkah Diplomasi Indonesia ke Israel”. Harian Kompas.
[2]   Iskandar, Muhaimin. “Gus Dur Yang Saya Kenal”.



Kamis, 16 Desember 2010

tentang politik dan rajah tubuh


Seni tato atau “rajah tubuh” telah berkembang sejak 3.000 tahun SM di berbagai belahan dunia. Bermula dari Mesir yang kemudian menyebar hingga suku Indian di Amerika dan Polinesia di Asia, seni rajah tubuh juga terus berkembang sampai di tanah Indonesia. Daerah yang mengenal kebudayaan rajah tubuh di Indonesia terutama pada kehidupan orang-orang Mentawai, Dayak di Kalimantan, dan Sumba di Nusa Tenggara Barat. Rajah tubuh mempunyai banyak arti bagi masing-masing kebudayaan. Mulai dari simbolisasi kekuatan sampai penanda status-status sosial. Apapun bentuk dan arti dari sebuah gambar pada budaya rajah tubuh, penulis mengartikannya dalam satu generalisasi yaitu "kesenian tradisi". Kesenian rajah tubuh kemudian erat hubungannya dengan kelestarian budaya tradisional Indonesia. Dalam hal ini, para pakar bersepakat bahwa rajah tubuh memang telah berkembang cukup lama di Indonesia dan menjadi hasil karya kebudayaan.[1] Selanjutnya, penulis akan mencoba memaparkan perkembangan kesenian rajah tubuh di ibu kota yang “dianggap” identik dengan premanisme dan kriminalitas pada era orde baru.


Inked
Membahas kepemimpinan presiden Soeharto pada era orde baru menimbulkan berbagai polemik dari sudut pandang yang juga beragam. Kenyataanya, rezim ini menciptakan paradigma yang cukup mengerikan terutama bagi mereka, pecinta dan budayawan seni rajah tubuh di Jakarta. Pada tahun 1983-1984 banyak terjadi pembantaian atau pembunuhan bagi orang yang dinyatakan masuk dalam kategori preman (melakukan tindak premanisme). Hal yang demikian sering kita kenal dengan istilah “petrus” atau “penembakan misterius” dan memang cukup efektif menekan angka kriminalitas. Mereka yang dianggap preman dibunuh dan jenazahnya diletakan di tempat umum. Seolah peristiwa tersebut memang menjadi “shock therapy” pemerintah kepada masyarakat setempat.[2] Menjadi bentuk pembunuhan yang menyimpan pesan sarat akan ancaman. Ketidak-laziman tersebut juga tidak sampai pada persoalan pembunuhan semata, seleksi preman oleh angkatan bersenjata cenderung tidak transparan dan terlampau luas generalisasinya. Akhirnya, tato pada tubuh seseorang (rajah tubuh) yang merupakan kesenian kebudayaan beralih menjadi indikator sosok seorang kriminal.

Penulis selanjutnya menganggap politik orde baru atas peristiwa pembunuhan preman (Petrus) tahun 1983-1984 juga merupakan diskriminasi budaya. Lantas, budayawan rajah tubuh atau pembuat tato menjadi terasingkan secara sosial. Tentu hal yang demikian tidak dapat dibenarkan melalui kacamata antropologi budaya. Sebuah kepentingan politik untuk menciptakan tatanan sosial yang baik tidak dapat dilakukan dengan mendiskriminasikan suatu kebudayaan. Pada era tersebut, pasang surut perkembangan kebudayaan rajah tubuh menjadi lebih sulit dipertahankan. Orde baru secara langsung mengebiri praktik-praktik pelestarian budaya, pembunuhan terhadap kebudayaan itu sendiri. Anggapan kriminalitas dalam budaya rajah tubuh membuat banyak orang harus “bergerilya” untuk berekspresi dengan kesenian. Rajah tubuh menjadi stigmatisasi kejahatan, kriminalitas, dan keberingasan dengan alasan menciptakan stabilitas keamanan dan ketertiban.[3] Sebuah hasil seni tradisi yang terlahir jauh sebelum kemerdekaan Indonesia jelas menjadi “kambing hitam”. Pengaruhnya kemudian dapat kita rasakan bahkan sampai saat ini. Paradigma masyarakat yang lahir pasca era orde baru terhadap keberadaan seni rajah tubuh menjadi diskriminatif. Walaupun pandangan masyarakat saat ini jauh lebih baik apabila dibandingkan dengan era kepemimpinan Soeharto itu.


[1] http://www.indonesiansubculture.com/portal/articles.php?article_id=27
[2] Siegel, James. “Penjahat Gaya (orde) Baru: Eksplorasi Politik dan Kriminalitas”.
[3] http://iwandjola.blogspot.com/2009_01_01_archive.html?zx=7bf6669ba820a867

mas Bimbim dibalik Generasi Sidik Jari

Memulai sebuah gagasan adalah permainan dari “idea” manusia. merealisasikan sebuah gagasan menjadi tantangan. "Inilah kami, sebuah generasi yang akhirnya bergerak, tergerak dengan sendirinya. Sebagai pemeran utama, sebagai calon pemimpin bangsa ini. Bangsa yang kami percaya kelak akan menjadi bangsa yang begitu indah nya, begitu besarnya dalam sebuah keberagaman. Seperti yang di impikan oleh setiap pemuda terdahulu." setidaknya itu yang bisa gua paparkan di beberapa halaman web sebelumnya.


Untuk setiap tujuannya, generasi ini akan menjadi pelopor, penggerak, sebagai “feedback” langsung dari sebuah generasi yang berani untuk tetap merdeka dalam pendidikan, pembelajaran yang sebenarnya. Untuk belajar bebas, belajar merdeka, belajar menjadi bagian bangsa ini untuk selanjutnya tetap bisa bergerak menuju titik dimana pelajar benar-benar terlibat secara langsung dalam berkarya bagi bangsanya. Dan atas semangat ini kemudian teman-teman banyak mulai mencari "tokoh" sebagai pendukung-pendukungnya. Mulai bergerilya menuju ranah aktivis pendidikan, pemuda, perfilman, sampai musisi (seniman) menjadi pilihan dari diskusi-diskusi kami. dengan catatan, kemurnian gerakan ini yang menjadi harga mati, bentuk politik yang tidak boleh dicampuri kepentingan dan bendera "tertentu".

Mengenal sosok mas Bimbim (Bimo Setiawan) sebagai seorang pendiri grup musik Slank menjadi alasan tepat menguak idealitasnya. Seorang Kerabat memperkenalkan Bunda Iffet yang memang menjadi impian dari ketertarikan gua pada grup band fenomenal ini. Oportunis, pembicaraan harus mendalam, terutama di saat Indonesia menuntut pengakuan batik oleh dunia. Wacana hari batik sebetulnya justru menjadi penolakan bagi kami, yang menurut gua juga batik tidak relevan untuk dipertahankan dengan "pengakuan". intinya, suatu gerakan pelajar adalah gerakan belajar, berupa apapun. Yang selama ini cenderung dibataskan oleh komersialisasi didalam birokrasi pendidikan itu sendiri. Membawa gagasan Generasi Sidik Jari (GSJ) ke jalan potlot adalah momen berharga buat gua. Memulai sebuah perjalanan, membawa kami -aktivis GSJ- pada perbincangan malam dengan Bunda. Dan selanjutnya memperkenalkan kami dengan seorang mas Bimbim!

Bimbim dengan batik
Deklarasi Pelajar, Generasi Sidik Jari

                Dengan berpakaian kaos dan celana pendek mas Bimbim menyambut kami di ruang dalam Potlot. Ekspektasi kami ternyata salah, yang pada awalnya berharap mas Bimbim akan “menggurui”. Mas Bimbim justru dengan tajam mengajak kami berdiskusi. “Untuk apa semua gagasan ini?” ucapnya dengan 3 bungkus rokok Marlboro merah ditangannya. Sepertinya bungkusan rokok itu memang baru saja ia pesan. Mas Bimbim tidak memandang kami sebagai tamu, namun sebagai bagian dari  representasi generasi muda. Setidaknya itu yang kami sadari. Baik mas Bimbim dan bunda terlihat serius menanggapi kami saat itu. Mungkin karena mereka baru pertama bertemu dengan sekumpulan anak-anak muda yang “urakan” ternyata peduli dengan perubahan.

                “Kalian kan anak mami, emang berani bikin-bikin gebrakan kaya gini?” tantang mas Bimbim. Sejenak gua merasa tertampar, luar biasa reaksi mas Bimbim ketika itu. Kemudian mas Bimbim melanjutkan, “Kalo memang gak takut, gua minta konsep besok udah di email!”. Ia juga mengingatkan bahwa gagasan hanya akan menjadi gagasan , kecuali ada hal yang benar-benar terjadi. Begitupun bunda ikut mendukung dengan cara “menantang”. Yang kemudian terlintas adalah kemauan membuktikan gagasan kami. Sebuah semangat yang tidak gua dapatkan dari sebagian orang-orang hebat sekelasnya. selain mas Bimbim, banyak tokoh hebat yang tidak dapat gua paparkan satu persatu.
 
                Gua pikir, momen itu yang sebetulnya menjadi pelatuk terselenggaranya aksi Deklarasi Pelajar 2 Oktober 2009 di Tugu Proklamasi oleh GSJ. Begitu banyak inspirasi mereka yang terus melekat pada rekan-rekan aktivis ini. Tulisan ini kemudian adalah bentuk penghargaan yang kami (GSJ) mampu berikan kepada mas Bimbim, bunda, dan keluarga besar Potlot. Semangat yang mereka tularkan adalah pelajaran besar dari guru besar kita semua. Selanjutnya adalah bagaimana kita bisa terus mengenal sosok mas Bimbim. Sebagai guru dibalik Generasi Sidik Jari. Sebagai “social movement” yang memang tidak lain adalah trigger. Adalah upaya pelajar menuntut kebebasan belajar, kebebasan berkarya. Sampai hari ini GSJ telah didukung oleh begitu banyak tokoh. Di tahun 2010 tokoh paling senior yang ikut membubuhkan dukungannya adalah abang Adnan Buyung Nasution. Semoga selanjutnya GSJ tidak hanya menjadi isapan jempol belaka. Setidaknya dengan terus mengingat apa yang dimulai mas Bimbim, untuk tetap "Rock and Roll" tentunya. Kepada teman-teman aktivis GSJ, gua hanya bisa mengatakan "salut". Tanpa imbalan sepeser pun, kita masih menjaga impian.

berikut teks Deklarasi Pelajar :

prosesi pembacaan
DEKLARASI PELAJAR


Kami pelajar yang belajar, dengan ini menyatakan:


1. Pelajar harus tetap merdeka untuk pertahankan tiap maha karya sebesar bangsanya.
2. Pelajar tetap akan merdeka untuk berkarakter dengan ruang gerak seluas tanah airnya.
3. Pelajar terus akan merdeka untuk persatukan tiap keberanian bicara sekuat bahasanya.


Atas nama perjuangan, untuk pelajar yang merdeka berkarya.
Tugu Proklamasi, Jakarta 2 Oktober 2009
dibacakan oleh Marshiella

Rabu, 15 Desember 2010

old days workhouse

MY OWN WAY

Sebuah foto yang terpajang di ruang kerja kecil. tergantung diantara puluhan coretan tembok. ruang itu sering disebut "kantor". tidak tanpa alasan, kantor memang menjadi tempat banyak orang-orang dekat bersinggah. dengan kepentingan masing-masing jelasnya. mulai sekedar beristirahat sejenak, mengerjakan, menulis, melantur, dan memperdebatkan berbagai persoalan. entah sepele atau krusial.. kantor telah menjadi ruang belajar yang hebat. foto ini diabadikan dengan memotretnya melalui SLR milik kerabat Faishal Farras. apa yang menjadi sosok menarik dari foto yang entah siapa fotografer aslinya ini, akan coba gua paparkan disini. sebagai pecinta seni foto yang tidak menguasai ilmu-ilmu fotografi.

gua belajar dari foto ini, sebagai mahasiswa politik UI, sebagai pembuat film amatir, sebagai pecinta seni rajah tubuh. adalah esensi "ambisi" yang terasa pada foto ini begitu kental. seakan anak kecil itu penuh dengan kegembiraan, mungkin kejayaan untuk bisa berekspresi di tengah aktivitas "metabolisme urin" diatas. seolah dia berkata.. "I did it my way!". persis seperti lagu yang dipopulerkan seorang maestro jazz Frank Sinatra. dengan caranya sendiri anak kecil di foto itu membuang urinnya. unik! menjadi alasan gua untuk terus berani berekspresi.

semangat yang demikian kelak menjadi impian, menjadi cita-cita banyak orang. tentunya teman, sahabat, musuh, dan siapapun penghuni kantor ini. ada sebuah peraturan di kantor yang kemudian menjadi sangat mutlak. yaitu, ketidakberadaan "peraturan"! dalam hal ini, kebebasan bersekspresi mengambil bagian terpenting. apapun cara setiap orang untuk berekspresi sangat dihargai di tempat ini. kantor juga menjadi cermin besar menghadap ke wajah setiap orang yang mengenalnya, "sudahkah anda berkarya? seperti kantor". kantor tidak pernah mengenal pahala dan dosa, karena Tuhan tidak mempunya sekretariat atau "kantor"nya sendiri bukan? sehingga kantor kemudian menganggap moral adalah urusan personal setiap orang.

tidak sedikit gua temukan bentuk "sentimental" terhadap mereka, kantor. menganggap ruang kecil itu hanya sebatas ilusi belaka. sebatas tempat penuh dengan euphoria semata, tanpa karya-karya yang nyata. teman-teman kantor cenderung senang menanggapi sentimen ini. meruntuhkan paradigma memang menjadi tugas kantor, dengan berbagai inisiasi. berbagai gagasan yang pernah keluar dari pintu kantor memang tidak tercatat dan tersimpan rapi. tapi dibalik liarnya gagasan-gagasan itu, kantor tetap dikenang. tetap diingat bagi mereka, sipapun yang pernah menjadi bagian dari perputaran pola pikir kantor.

Perspeksi Patung

Perspeksi Patung

Departemen Ilmu Patung, Fakultas Patung, Universitas Patung
Aku ini bermonolog, berdialog, berdebat, dan teriak-teriak!
Kadang menjilat, walaupun aku sebongkah pahatan patung
Aku tak mengenal Tuhan, dan Tuhan kemudian mengenal aku
Mengenal agamaku, mengenal Tuhanku?

Selanjutnya orang-orang banyak berdebat dan teriak-teriak!
Mengangkat senjata, merakit dan mengutuk bom
Membunuh diri sendiri. Membunuh musuh-musuhnya sendiri
Dan sering membunuh akal sehatnya sendiri
Aku tertawa.. aku ini patung yang tanpa akal
Tidak kurang dan tidak lebih, patung yang tanpa akal
Atas nama Tuhan mereka lupakan akal-akalnya
siapa mereka? yang marah-marah membabi buta
 Membiarkan babi yang tidak lagi buta!
Mereka itu mengecam. Dengan ancaman-ancaman nyata
Aku patung .. aku bukan lagi binatang babi yang buta dan tuli

Apapun itu patung, aku berdiri di atas pasir Bali
Kadang membungkuk, menyembah laut
Dan laut, yang terbahak-bahak melihat mereka
Mereka itu yang membodohi akalnya
Menjadikan Tuhan spekulasinya.. menjadi omong kosong
Mengeksploitasi perdamaian, kalau kemudian damai hanya sekedar prostitusi
Kalau kemudian damai juga hanya sebutir pil ekstasi
Aku yang jadi patung akan bungkam, selagi tidak punya banyak pilihan
Hanya ekstasi atau pecahan perang?
Aku lagi-lagi adalah patung, adalah pahatan tanpa akal sehat

Esok harinya aku bertamu pada rumah-rumah Tuhan
Aku bertamu pada rumah-rumah setan.. aku bertamu pada rumah-rumah
Apa Tuhan punya banyak rumah?
Kemudian rumah-rumahnya menjadikan bendera
Menjadi identitas, menjadi entitas, sekedar irrasionalitas
Menyulutkan permusuhan dan pecahkan perang
Menjadikan agama sebagai peluru-peluru tajam
Entah peluru karet, mungkin peluru hampa
Aku pilih tak beragama! Kutip Tuhanku laut-lautan

Dan kalian wahai persetan, aku politis
Aku tuliskan di tubuh-tubuh yang telanjang
Aku perkosa akal-akal sakit di lidah sehat mereka
Aku marah? Setidaknya aku bukan babi yang masih buta dan tuli
Lebih baik dari otak-otak binatang, karena aku tak berotak
Aku lebih senang dipanggil pelacur
Melacur perdamaian, melacur moralitas, melacurkan rasionalitas
Melacurkan diriku sendiri ini untuk Tuhan
Mungkin karena aku patung yang tak kenal Tuhan
Tuhan kemudian mengenalku, mengenal agamaku, dan mengenal Tuhanku
Tanpa perang!

Rumah pelacuran kini terkambing-hitamkan
Seolah atas nama Tuhan menjadikan rasio pembenaran
Lantaran benar dan salah adalah konsep patung
Di dalam retorika politik patung, parlemen patung
Dewan majelis patung yang terhormat...
Omong kosong bongkahan patung!



Hasfi Attila
Jakarta, 1 Desember 2010
dibacakan pada 9 Desember 2010
di Teater Kolam FISIP UI