Sebelum maupun sesudah terbitnya undang-undang no. 44 tahun 2008 tentang pornografi tengah menimbulkan perdebatan panjang di masyarakat. Pro dan kontra terhadap kebijakan tersebut menuai banyak persepsi publik atas kekuatan hukum dalam upaya menciptakan tatanan sosial yang lebih baik. Adapun kaum cendikiawan, budayawan, seniman, agamis, politisi, dan akademisi turut serta meramaikan pasang surutnya dukungan terhadap undang-undang tersebut. Mereka yang berdiri di kubu “pro” tentu membela dan mendorong semangat anti pornografi sebagai bentuk pembenahan tatanan sosial lewat kekuatan hukum atas perilaku moral masyarakat. Dan mereka yang berdiri di kubu “kontra” terus menerus mempertanyakan sikap hukum yang dirasakan memberengus kebebasan berekspresi. Keduanya memiliki argumentasi yang cukup kuat, berbagai aksi pun seringkali kita dengar di media massa dengan tokoh-tokoh masyarakat sebagai pionir sejatinya.
Penulis kemudian melihat proses pelaksanaan hukum mengenai pornografi ini menjadi perhitungan pada batasan-batasan di dalam masyarakat. Dalam hal ini, penulis tidak melihat adanya kesepakatan yang cukup jelas mengenai definisi pornografi itu sendiri pada realitanya. Di satu sisi, pornografi dinilai merusak moralitas masyarakat dan kerap menimbulkan keresahan publik. Di sisi lain pornografi justru dilihat sebagai bentuk eksploitasi seksualitas yang tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan manusia. Pelaksanaan proses hukum selanjutnya menjadi penentu atas kesepakatan bernegara. Dalam mencapai fungsi pengendalian sosial maka hukum dituntut untuk dapat merepresentasikan kepentingan banyak orang. Pokok persoalan kemudian terletak pada sudut pandang hukum terhadap masyarakat (subjek hukum) atas aspek pornografi itu sendiri. Mencermati penerapan undang-undang tersebut menjadi hal yang rasional untuk terus kita ukur. Sebagai bentuk respon masyarakat (feedback) yang juga menjadi rasio terhadap relevansi keberhasilan proses hukum di Indonesia
Dalam pembahasan ini, penulis akan membatasi fokus pada substansi undang-undang no. 44 tahun 2008 tentang pornografi, terlepas dari studi yang lebih mendalam mengenai dampak dari pemberlakuan undang-undang tersebut. Seperti yang telah kita ketahui bersama, kerancuan berada pada makna pornografi itu sendiri. Mengutip pasal 1 butir pertama mengenai ketentuan umum,
“...Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat...”
memperlihatkan kita pada keambiguan terhadap maksud dari pornografi. Pornografi pada konteks tersebut dinilai sebagai eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan. Padahal, pornografi yang dikonsumsi oleh seorang individu untuk kebutuhan pribadinya sendiri tanpa merugikan pihak lain adalah bentuk hak asasi manusia yang juga dilindungi oleh konstitusi. Pornografi (porno-grafis) berarti grafis atau gambaran mengenai hal-hal seksual. Sangat jauh dari esensi norma kesusilaan yang dimaksud.
Ketidak-sepakatan publik terhadap persepsi mengenai pornografi selanjutnya menciptakan kontroversi atas opini-opini lainnya. Meskipun demikian, menjaga norma-norma di dalam masyarakat –terutama norma kesusilaan dalam hal ini- menjadi tanggung jawab bersama dan merupakan salah satu fungsi kongkret sebuah pelaksanaan hukum. Apabila hal yang demikian tidak diatur secara sah melalui perundang-undangan, maka bentuk-bentuk destruksi sosial melalui ranah pornografi pun akan terus terjadi. Hukum mengenai konteks pornografi penulis rasakan perlu untuk diperhatikan. Namun, kepastian hukum selanjutnya juga menuntut suatu “kepastian paradigma” di dalam setiap pengaturannya. Selama persepsi pornografi pada undang-undang ini menimbulkan multi-tafsir, maka penerapannya pun akan cukup terganggu dan tidak relevan. Mengingat juga bahwa hukum haruslah tidak samar-samar atau “nullum crime sine lege stricta” demi menjamin mutu dari pengendalian sosial itu sendiri. Selain itu, frasa “...melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat...” dirasakan terlalu luas untuk mengukur sebuah batasan. Hal ini penulis tekankan pada perbedaan norma kesusilaan di dalam berbagai budaya masyarakat menjadi cukup signifikan untuk dipersoalkan.
Kerancuan yang banyak terdapat pada undang-undang ini juga dapat kita temui pada tujuan undang-undang. Mengutip pasal 3 (b) mengenai tujuan,
“...menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk...”
cenderung menimbulkan pertanyaan publik atas relevansi pornografi dalam nilai-nilai seni, budaya, dan adat. Hal demikian diperkuat dengan banyaknya jumlah kalangan seniman dan budayawan yang ikut menentang peraturan tersebut. Untuk itu, peraturan yang mengatur pornografi dirasakan juga harus mampu untuk melindungi dan melestarikan seni budaya di kehidupan masyarakat. Atau yang justru terjadi adalah pembunuhan kreatifitas dan kebebasan berekspresi masyarakat seperti yang selama ini dikhawatirkan oleh banyak kalangan mengenai penerapan undang-undang ini.
Selain mengatur aspek pornografi di dalam masyarakat sebagai bentuk pengendalian sosial, undang-undang ini juga berperan sebagai perlindungan terhadap anak. Kembali penulis mengutip pasal 15 mengenai perlindungan anak,
“...Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi...”
yang juga dirasakan kurang tepat apabila orientasi perlindungan tersebut adalah pencegahan dari pengaruh pornografi. Manusia yang tidak (mampu) dipengaruhi pornografi atau “aseksual” justru menjadi persoalan yang lebih krusial. Begitupun terhadap frasa informasi pornografi, dimana proses sosialisasi terhadap anaklah yang seharusnya ditekankan oleh pasal ini. Bentuk-bentuk pengaruh dan informasi pornografi menjadi ambigu apabila tidak dijelaskan lebih lanjut. Terutama ketika konteksnya adalah pendidikan seks yang sudah seharusnya dilakukan pada proses sosisalisasi anak oleh orang tua. Apabila informasi mengenai seks dalam pornografi tidak dipahami oleh seseorang, maka kemudian akan timbul kecenderungan fenomena paradoksal pada seseorang. Dimana rasa penasaran kemudian menjadi lebih dominan untuk menyimpang dari norma-norma sosial yang berlaku. Di satu sisi, kita tetap memerlukan pengaturan yang mendasar bagi akses informasi pornografi dalam proses sosialisasi anak.
Selanjutnya, undang-undang ini juga mendorong reaksi masyarakat. Bahkan mendorong peranan masyarakat dalam proses-proses pencegahan (preventif), penyelesaian (kooratif), dan pembinaan (rehabilitatif) sebagaimana yang terkutip pada pasal 20 berikut,
“...Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi...”
sehingga peran-peran masyarakat dapat juga mewujudkan kecenderungan “polisi moral” di tengah kehidupan masyarakat sipil. Apabila fenomena ini terjadi, maka stabilitas akan terganggu dan mampu mendorong kecenderungan diskriminan terhadap mereka yang mempunyai persepsi berbeda mengenai pornografi itu sendiri. Meskipun perbedaan persepsi ini tidak lagi menjadi acuan yang kuat untuk kita pertahankan selepas terbitnya undang-undang tersebut. Walaupun demikian, sebuah penetapan hukum harus didukung oleh peranan masyarakat setempat. Sehingga terjadi hubungan yang konstruktif antara negara dan masyarakat dalam mencapai kontrak politik berupa hukum. Tanpa adanya peran masyarakat, hukum tidak mungkin mampu menyentuh tujuan fungsionalnya. Hal ini perlu dicermati dalam membina struktur dalam komponen-komponen subjek hukum yang baik. Dengan kata lain, fenomena “polisi moral” masyarakatlah yang seharusnya menjadi objek dalam batasan-batasan penerapan pasal pada undang-undang tersebut.
Peranan hukum menjadi sangat relevan ketika konteks substansi di dalamnya terhitung cermat dan tepat pada sasaran tujuan pemberlakuan. Relevansi yang demikian juga menjadi kebutuhan masyarakat sebagai subjek hukum. Selanjutnya adalah upaya-upaya yang terus dilakukan untuk membenahi prinsip-prinsip hukum itu sendiri, sebagai bentuk respon (feedback) langsung dari masyarakat. Dan dalam hal ini, negara bertanggung jawab menjamin keberlangsungan proses konstruksi hukum yang sistematis. Ketika sistem hukum dapat berjalan dengan baik di dalam masyarakat hukum, maka pembenahan dan sasaran tujuan sebuah undang-undang dapat berhasil tercapai. Pencapain inilah yang selanjutnya menjadi upaya yang juga relevan dalam proses pengendalian sosial melalui hukum. Adapun perdebatan yang terjadi seputar undang-undang adalah indikator stimulasi sebuah proses pemberlakuan hukum untuk menciptakan tatanan sosial yang lebih baik. Secara fungsional, undang-undang pornografi kemudian diharapkan dapat benar-benar mengatur apa yang menjadi batasan aspek tersebut sehingga tujuan tatanan itu sendiri dapat terealisasikan.
Penegakan dan pembangunan hukum dalam perspektif yang sistematis selanjutnya kita sadari harus terjaga oleh konstruksi hukum yang juga kokoh. Dalam hal ini, respon masyarakatlah yang mampu menjadi evaluasi terhadap pembentukan hukum serta penerapannya. Dukungan yang semacam ini baru kemudian dapat tercipta apabila substansi sebuah undang-undang dapat diterima secara jelas di mata umum. Hukum menurut Ludwig von Bertalanffy secara nyata terbentuk oleh kompleksitas elemen yang saling terikat dan bergantung. Dan pada akhirnya secara kumulatif menjadi satu kesatuan yang dibutuhkan untuk membentuk masyarakat. Fungsionalitas hukum selanjutnya menjadi upaya manusia dan negara dalam mencapai tatanan sosial yang seimbang dan stabil. Mengukur keberhasilan sebuah undang-undang memang tidak serta merta dapat begitu sederhana. Banyak faktor yang tidak penulis paparkan sebagai bentuk pembatasan dalam hal ini. Namun penulis tetap mengedepankan relevansi penerapan hukum dengan fungsi hukum itu sendiri sebagai acuan yang luas dan mendasar terhadap permasalahan ini.
refrensi penulisan :
http://www.aruspelangi.or.id/statement/report_on_ruuapp.pdf
http://www.komnasperempuan.or.id/2010/03/undang-undang-nomor-44-tahun-2008-tentang-pornografi-sebuah-kemunduran-bagian-pertama/
http://books.google.co.id/books?id=XP-J_3xUzGIC&pg=PA3&dq=undang-undang+pornografi&hl=id&ei=5AIBTbvwB4_irAen-4WRDw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=1&ved=0CCMQ6AEwAA#v=onepage&q=undang-undang%20pornografi&f=false
http://books.google.co.id/books?id=j8cqPTvfR9AC&pg=PP20&dq=undang-undang+pornografi&hl=id&ei=5AIBTbvwB4_irAen-4WRDw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=2&ved=0CCcQ6AEwAQ#v=onepage&q=undang-undang%20pornografi&f=false
http://id.wikiquote.org/wiki/Rancangan_Undang-Undang_Antipornografi_dan_Pornoaksi